Kaidah Ke. 9 : Urf dan Kebiasaan Dijadikan Pedoman Pada Setiap Hukum Dalam Syariat
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kesembilan :
العُرْفُ وَالْعَادَةُ يُرْجَعُ إِلَيْهِ فِي كُلِّ حُكْمٍ حَكَمَ بِهِ الشَّارِعُ, وَلَمْ يَحُدَّهُ بِحَدٍّ
‘Urf Dan Kebiasaan Dijadikan Pedoman Pada Setiap Hukum Dalam Syariat Yang Batasannya Tidak Ditentukan Secara Tegas
Kaidah ini mencakup berbagai aspek dalam syariat, baik muamalat, penunaikan hak, dan yang lain. Karena penentuan hukum suatu perkara dalam syariat dilakukan dengan dua tahapan, yaitu :
1. Mengetahui batasan dan rincian perkara yang akan dihukumi.
2. Penentuan hukum terhadap perkara tersebut sesuai ketentuan syar’i.
Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah menentukan hukum sesuatu secara jelas, baik wajib, sunat, haram, makruh, ataupun mubah, juga telah dijelaskan batasan dan rinciannya, maka kewajiban kita adalah berpegangan dengan rincian dari Allah Azza wa Jalla sebagai penentu syariat ini. Misalnya, dalam perintah shalat, Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan batasan-batasan dan rincian-rinciannya. Oleh karena itu, kita wajib berpegang dengan perincian ini. Begitu juga dengan amalan-amalan lain, seperti zakat, puasa, dan haji, Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n telah menjelaskannya secara detail.
Sedangkan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah mensyariatkan sesuatu, sementara batasan dan penjelasan detailnya tidak disebutkan secara tegas, maka dalam masalah seperti ini, al-‘urf (adat) dan kebiasan yang telah populer di tengah-tengah masyarakat bisa dijadikan pedoman untuk menentukan batasan dan rincian perkara tersebut.
Dalam mengembalikan batasan suatu perkara kepada adat kebiasaan tersebut, terkadang Allah Azza wa Jalla menyebutkannya secara langsung. Misalnya, firman Allah Azza wa Jalla tentang perintah kepada para suami untuk mempergauli isteri dengan baik :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan bergaullah dengan mereka dengan cara ma’ruf. [an-Nisâ’/4 : 19]
Kata ‘ma’ruf’’ (yang baik) dalam ayat tersebut mencakup sesuatu yang baik menurut syariat, juga yang baik menurut akal.
Demikian pula, firman Allah Azza wa Jalla :
وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
Dan perintahkanlah manusia untuk mengerjakan yang ma`ruf. [al-A’râf/7: 199]
Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa dalam perkara-perkara syar’i yang tidak ditentukan batasannya secara tegas dalam syariat, maka rincian batasannya dikembalikan kepada adat kebiasaan yang telah dikenal di tengah-tengah manusia. Penerapan kaidah yang mulia ini dapat dilihat pada contoh-contoh berikut:
1. Perintah Allah Azza wa Jalla agar kita melakukan ihsan (berbuat baik) kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang sedang dalam perjalanan, dan ihsan kepada seluruh makhluk. Maka, segala sesuatu yang dianggap baik di masyarakat masuk dalam kandungan perintah ini. Karena Allah Azza wa Jalla menyebutkan kalimat ihsan secara mutlak (umum). Ihsan lawan kata dari isâ’ah (berbuat jelek). Pengertian kata ihsan bahkan juga bertentangan segala upaya menahan kebaikan baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau harta.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits yang shahih :
كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ
Setiap perkara yang ma’ruf adalah shadaqah.[1]
Hadits ini merupakan nash (dalil) tegas yang menunjukkan bahwa setiap ihsan (perbuatan baik) dan ma’ruf yang dikerjakan seseorang itu adalah sedekah.
2. Dalam setiap akad ataupun tabarru’ (sumbangan), di antara syarat sahnya adalah keridhaan dua belah pihak. Namun syariat tidak menentukan lafazh tertentu secara tegas untuk melakukan akad ini ataupun yang menunjukkan keridhaan tersebut. Oleh karena syariat tidak menentukan lafazh tertentu, maka semua lafazh dan perbuatan yang menunjukkan bahwa telah terjadi akad dan keridhaan dari kedua belah bisa digunakan dan akadnya sah.[2]
Namun, dalam hal ini para Ulama mengecualikan beberapa masalah. Mereka mengharuskan adanya ucapan supaya akadnya sah, misalnya dalam akad nikah. Para Ulama mengatakan : “Harus ada ucapan îjâb (serah) dan qabûl (terima) dalam akad nikah.” Demikian pula, dalam persoalan talak (perceraian). Talak tidak sah kecuali dengan ucapan atau tulisan si suami.
3. Dalam akad-akad yang disyaratkan adanya qabdh (serah terima secara langsung). Pelaksanaan qabdh ini sesuai dengan adat kebiasaan yang ada dan bentuknya pun berbeda-beda. Bila dalam satu masyarakat tertentu, ada tindakan yang sudah dianggap sebagai bentuk serah terima secara langsung, maka itu bisa dijadikan pedoman dalam menjelaskan makna qabdh dan pelaksanaannya.
4. Demikian pula tentang al-hirz (tempat penyimpanan harta yang layak). Seseorang yang mendapatkan amanah untuk menjaga harta orang lain, ia wajib menyimpan dan menjaga harta yang diamanahkan kepadanya itu di tempat penyimpanan yang layak menurut kebiasaan masyarakat sekitarnya. Masing-masing harta mempunyai tempat penyimpanan yang layak sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Jika ini sudah dilakukan, kemudian barang tersebut hilang atau dicuri, maka orang yang diberi amanah tidak wajib menggantinya. Ini berarti standar kelayakan itu mengikuti urf (adat kebiasaan setempat).
Namun, jika orang yang mendapatkan amanah ini tidak hati-hati atau lalai dalam menjaga sehingga mengakibatkan barang yang diamanahkan kepadanya rusak atau hilang, maka ia wajib bertanggungjawab atas kerusakan atau kehilangan barang tersebut. Dalam hal ini, untuk menentukan apakah ia hati-hati atau tidak, dikembalikan kepada kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat. Jika standar setempat menilai dia tidak hati-hati, maka dia wajib mengganti. Namun jika dinilai sudah berhati-hati, maka tidak wajib mengganti.
5. Orang yang mendapatkan luqâthah (barang temuan), ia wajib mengumumkan barang temuannya selama setahun untuk mencari pemiliknya. Cara mengumumkannya, disesuaikan dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Apabila telah diumumkan selama satu tahun, namun tidak juga diketahui pemiliknya, maka barang tersebut menjadi hak milik si penemu.
6. Mengenai wakaf, maka penggunaan harta yang diwakafkan itu dikembalikan kepada syarat dan ketentuan dari orang yang mewakafkan, selama tidak menyelisihi syariat. Namun, jika syarat dan ketentuan tersebut tidak diketahui oleh orang yang mewakafkan, maka penggunaannya disesuaikan dengan adat kebiasaan masyarakat setempat.
7. Secara hukum asal, kepemilikan suatu barang ditetapkan berdasarkan kenyataan keberadaan barang tersebut. Apabila barang tersebut secara nyata berada di tangan seseorang, maka barang tersebut ditentukan sebagai miliknya, kecuali jika ada bukti yang memalingkan dari hukum asal tersebut.
8. Perintah untuk memberikan nafkah kepada isteri, sanak kerabat, hamba sahaya, pekerja, dan semisalnya secara ma’ruf. Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya telah menyebutkan secara tegas untuk kembali kepada ‘urf (adat kebiasaan masyarakat setempat) dalam mu’asyarah (mempergauli) isteri secara baik.[3] Makna mu’asyarah lebih umum daripada memberikan nafkah. Karena mu’asyarah mencakup seluruh urusan yang berkaitan dengan hubungan antara suami dan isteri, baik dengan perkataan, perbuatan, dan lainnya. Dan semua itu dikembalikan kepada kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat.
9. Seorang wanita yang mengalami istihâdhah (mengeluarkan darah penyakit-red), tapi tidak bisa membedakan antara darah istihadhah dengan darah haidnya, maka ia menentukan lama haidnya sesuai kebiasaan sebelum mengalami istihadhah. Namun, jika ia tidak mengetahui kebiasaan haidnya sebelum mengalami istihadhah karena lupa atau alasan lainnya, maka ia menentukan lama waktunya sesuai dengan kebiasaan haid wanita di keluarganya, kemudian juga kebiasaan wanita di daerahnya.
10. Keberadaan ‘aib (cacat dalam barang dagangan), ghabn (menjual atau membeli dengan harga yang jauh dari harga pasar umumnya), dan tadlîs (menutupi cacat yang ada pada barang dagangan). Batasan dalam semua masalah ini dikembalikan kepada ‘urf. Kapan saja suatu kondisi dianggap mengandung unsur ‘aib, ghabn, atau tadlîs dalam adat kebiasaan masyarakat, maka berlakulah hukum yang terkait dengannya.
11. Dalam satu pernikahan yang maharnya tidak disebutkan secara jelas, atau disebutkan namun fasid (tidak sesuai ketentuan syar’i), maka penentuan maharnya dikembalikan kepada mahrul mitsl (standar mahar yang berlaku secara umum di masyarakat setempat). Nilai mahar tersebut sesuai dengan perbedaan wanita, perbedaan waktu, dan perbedaan tempat.
Contoh-contoh penerapan kaidah di atas sangat banyak dan bisa dilihat dalam kitab-kitab hukum yang ditulis oleh para Ulama. Wallahu a’lam.
(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. al-Bukhâri no. 6021 dan Muslim no. 1005.
[2]. Dalam al-Ikhtiyârât, hlm. 121, Syaikhul Islam t berkata : Setiap ucapan ataupun perbuatan yang telah menjadi adat kebiasaan manusia menunjukkan akad jual beli atau hibah, maka jual beli atau hibah ini sah dengan ucapan dan perbuatan tersebut. (al-Ikhtiyârât, hlm. 121)
[3]. Di antaranya firman Allah Azza wa Jalla dalam surat an-Nisâ’ : 19. Dan berdasarkan hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada Hindun Radhiyallahu anhuma :
خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
Ambillah (dari harta tersebut) untuk memenuhi kebutuhan dirimu dan anakmu sesuai yang ma’ruf. (HR. Bukhâri dalam Kitâb al-Buyû’, Bab Man Ajrâ Amral Amshâri ‘ala Mâ Yata’ârafân…., No. 2211. Muslim dalam Kitâb al- Aqdhiyah, Bab Qadhiyyatu Hindin, No. 1714.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2508-kaidah-ke-9-urf-dan-kebiasaan-dijadikan-pedoman-pada-setiap-hukum-dalam-syariat.html